Kamis, 30 September 2010

PEMECAHAN KONFLIK


Dari tulisan: Maill, Ramsbotham dan Woodhouse. 
Disadur oleh: J.K.Iroth.

1 Hasil Kalah-Menang, Kalah-Kalah, Menang-Menang 

      Ketika pendekatan konflik bagi kedua pihak dipertimbangkan secara bersama-sama, yang terjadi pihak-pihak yang bertikai biasanya cenderung melihat kepentingan mereka sebagai kepentingan yang bertentangan. Hasil yang mungkin diperoleh adalah hasil kalah-menang (satu pihak menang, pihak lain kalah) atau kompromi (mereka membagi perbedaan-perbedaan yang ada). Jika tidak ada yang mampu memaksakan sebuah hasil atau bersedia untuk kompromi, pihak yang bertikai dapat memaksakan biaya yang sangat besar pada masing-masing pihak, di mana pada akhirnya semua pihak berakhir dalam keadaan lebih buruk, dibandingkan dengan jika mereka menggunakan strategi lain. Tetapi ada banyak hasil yang sama dalam konflik dengan kekerasan: keduanya sama-sama kalah. Dalam analisa peneyelesaian konflik ditemukan bahwa hal ini menjadi jelas bagi pihak-pihak yang bertikai (seringkali disesali dikemudian hari), ada motif kuat yang didasarkan pada kepentingan sendiri untuk mencapai hal lain, umpamanya berkompromi atau mencari penyelesaian dengan hasil menang-menang. 
      Secara tradisional, tugas penyelesaian konflik adalah mambantu pihak-pihak yang merasakan situasi yang mereka alami sebagai sebuah situasi Zero-zum (keuntungan diri sendiri adalah kerugian pihak lain) agar melihat  konflik sebagai keadaan non-Zero-zum (di mana kedua belah pihak dapat memperoleh hasil atau keduanya dapat sama-sama tidak memperoleh hasil) dan kemudian membantu pihak-pihak yang bertikai berpindah ke arah hasil positif. Pihak-pihak yang bertikai, jika yang diperhatikan kepentingan sendiri, kemungkinan yang terjadi adalah kalah-kalah.

 2 Posisi, Kepentingan dan Kebutuhan

    Jika kedua belah pihak berseberangan, maka salah satu gagasan adalah membedakan antara posisi pihak yang bertikai dan kepentingan serta kebutuhan tersembunyi mereka. Kepentingan seringkali lebih mudah direkonsiliasikan dibandingkan dengan posisi. Persoalan menjadi lebih sulit jika konflik terjadi atas nilai-nilai (yang sering tidak dapat dinegosiasikan) atau hubungan, yang perlu diubah untuk menyelesaikan konflik. Sejumlah analis membatasinya dengan mengidentifikasi kebutuhan dasar manusia (sebagai contohnya identitas, keamanan, kebertahanan untuk hidup) sebagai akar motif yang lain. Konflik yang sulit didamaikan dilihat sebagai akibat dari pengabaian terhadap kebutuhan semacam ini, dan konflik hanya dapat diselesaikan ketika kebutuhan semacam ini dipenuhi. Sepanjang konflik diterjemahkan ke dalam bahasa kebutuhan, sebuah hasil yang memuaskan kedua belah pihak dapat ditemukan. Posisi, kepentingan dan kebutuhan keduabelah pihak dalam menyelesaikan konflik harus mendapat perhatian.

 3 Intervensi Pihak Ketiga

      Intervensi mengubah dinamika konflik. Ada kemungkinkan pihak ketiga untuk menyaring atau melihat kembali pesan-pesan, sikap dan perilaku mereka yang berkonflik. Intervensi pihak ketiga dapat dibedakan antara:

3.1 “Mediator yang berkuasa” atau “mediator dengan otot” membawa kekuasaan mereka. Melibatkan pejabat, yang dapat menggunakan jasa, media dan teknik yang baik dalam memberi imbalan atau hukuman atau memaksakan hasil tertentu.

3.2 Mediator yang tidak mempunyai kekuasaan, perannya ditentukan hanya untuk komunikasi dan fasilitasi. Melibatkan mediator bukan pejabat yang tidak mempunyai kemampuan untuk memberikan penghargaan atau hukuman. Mereka bekerja dengan pihak-pihak atau dengan konstituen mereka. Mereka memfasilitasi kesepakatan, mendorong pihak-pihak yang terlibat untuk melihat keadaan yang sulit sebagai sesuatu yang berada di garis kala-kalah atau menang-menang dan untuk menemukan hasil yang saling menguntungkan.
     Hasil penyelesaian konflik dipengaruhi oleh Intervensi pihak ketiga, yaitu mediator yang berkuasa (pejabat) atau mediator yang tidak berkuasa (bukan pejabat).


4 Konflik Simetris dan Tidak Simetris

      Konflik Simetris adalah konflik kepentingan antara pihak-pihak yang relatif sama. Konflik tidak Simetris adalah konflik antara pihak-pihak yang tidak sama. Seperti konflik antara minoritas dan mayoritas, sebuah pemerintah yang sudah mapan dengan sekelompok pemberontak, seorang majikan dengan karyawan, pihak penerbit dengan pengarang. Di sini, akar konflik bukan terletak pada masalah atau kepentingan tertentu yang dapat memisahkan pihak-pihak yang terlibat, tetapi terletak dalam struktur dan hubungan antar mereka. Satu-satunya cara untuk menyelesaikan konflik jenis ini adalah dengan mengubah strukturnya, tetapi hal ini tidak menjadi keinginan pihak yang lebih kuat. Sehingga di sini tidak ada hasil menang-menang, dan pihak ketiga harus menggabungkan kekuatan dengan pihak yang lemah untuk menghasilkan pemecahan. Peran pihak ketiga adalah membantu, jika perlu berkonfrontasi dengan pihak yang kuat. Ini bermakna mentransformasikan hubungan yang tidak damai, hubungan yang tidak seimbang ke dalam hubungan yang penuh damai dan dinamis. Gambar 5 menggambarkan jalannya dari hubungan yang tidak damai menuju hubungan yang damai dapat melibatkan peningkatan sementara dalam konflik ketika orang-orang menyadari kekuasaan yang tidak seimbang mempengaruhi mereka (tingkatan 1, pendidikan atau kehati-hatian), mengorganisasi diri mereka sendiri dan mengartikulasikan keluhan mereka (tingkat 2, konfrontasi), mensejajarkan diri dengan mereka yang mempunyai kekuasaan yang lebih besar (tingkatan 3, negosiasi dan akhirnya bergabung dalam restrukturasi hubungan yang lebih adil dan lebih pantas (tingkatan 4, resolusi). Ada banyak cara di mana hal ini dapat didekati tanpa menggunakan paksaan, misalnya:
4.1 Taktik ala Gandhi “mengatakan yang benar pada kekuasaan”, mempengaruhi dan membujuk para pemegang kekuasaan.
4.2 Taktik memobilisasi gerakan masa, meningkatkan solidaritas, melakukan demonstrasi penyelesaian, menuntut perubahan.
4.3 Taktik memperkuat dan memberdayakan pihak yang lemah. Pihak yang lemah dapat
menarik diri dari hubungan yang tidak seimbang dan mulai membangun hubungan yang baru, yakni pendekatan institusi paralel. Cara damai menggunakan kekuasaan yang lunak untuk bergerak ke arah hubungan yang lebih seimbang. Taktik mana yang akan digunakan, tentunya dipengaruhi oleh situasi dan kondisi dari pihak yang bertikai.

5 Konflik Segitiga

      Galtung (akhir tahun 60-an) mengatakan konflik dapat dilihat sebagai sebuah  segitiga, dengan kontradiksi (C), sikap (A) dan perilaku (B). Kontradiksi adalah situasi konflik, termasuk “ketidakcocokan tujuan” yang ada atau yang dirasakan oleh pihak-pihak yang bertikai, yang disebabkan oleh “ketidakcocokan antara nilai sosial dan struktur sosial. Dalam sebuah konflik yang tidak simetris, kontradiksi ditentukan oleh pihak-pihak yang bertikai, hubungan mereka dan benturan kepentingan inheren antara mereka dalam berhubungan. Sikap yang dimaksud termasuk persepsi pihak yang bertikai dan kesalahan persepsi antara mereka dan dalam diri mereka sendiri. Sikap ini seringkali dipengaruhi oleh emosi seperti ketakutan, kemarahan, kepahitan dan kebencian. Sikap tersebut termasuk elemen emotif (perasaan), kognitif (keyakinan) dan konatif (kehendak). Perilaku adalah komponen ketiga. Perilaku konflik dapat termasuk kerjasama atau pemaksaan, gerak tangan atau tubuh yang menunjukkan persahabatan atau permusuhan. Sebuah strutur konflik tanpa sikap atau perilaku yang bersifat konflik merupakan sebuah konflik laten (atau konflik struktural). Konflik sebagai proses dinamis di mana struktur, sikap dan perilaku secara konstan berubah dan mempengaruhi satu sama lainnya. Ketika konflik muncul, konflik menjadi formasi konflik atau ketika hubungan di mana mereka menjadi penindas. Pihak-pihak yang bertikai mengorganisasikan diri di sekitar struktur untuk mengejar kepentingan mereka. Mereka mengembangkan sikap yang membahayakan dan perilaku yang bersifat konflik. Dengan begitu formasi konflik mulai tumbuh dan berkembang. Sebagaimana yang biasa terjadi, konflik dapat melebar, menarik pihak-pihak lain, semakin mendalam dan menyebar, menimbulkan konflik sekunder pada pihak-pihak utama atau di antara pihak-pihak yang berada di luar yang sekarang terseret masuk. Hal ini seringkali merumitkan tugas menyelesaikan konflik asal atau konflik inti. Pada akhirnya penyelesaian konflik harus melibatkan seperangkat perubahan dinamis yang melibatkan penurunan prilaku konflik, perubahan sikap dan metransformasikan hubungan atau kepentingan yang berbenturan yang berada dalam inti struktural konflik. Konflik dapat melebar, menarik pihak-pihak lain, semakin mendalam dan menyebar. Untuk menyelesaikan konflik dibutuhkan penurunan prilaku konflik, perubahan sikap dan mentransformasikan hubungan dan kepentingan.

6 Dinamika Konflik

     Model ini melihat formasi konflik muncul dari perubahan sosial, kemudian membawanya menuju pada proses transformasi konflik kekerasan atau konflik tanpa kekerasan, dan melahirkan perubahan sosial lebih jauh di mana individu atau kelompok yang ditekan atau disingkirkan dapat muncul untuk mengartikulasi kepentingan mereka dan menentang norma-norma dan strukutur kekuasaan yang ada. Model skematik daur hidup konflik melihat sebuah kemajuan perubahan sosial yang berjalan dengan damai menuju ke formasi konflik dan ke konflik kekerasan, dan kemudian menuju pada transformasi konflik dan kembali lagi pada perubahan sosial secara damai. Model lain yang juga dapat di gunakan:
6.1 Urutan kejadian dapat mulai dari formasi konflik atau transformasi konflik dan kembali pada perubahan sosial, menghindari kekerasan.
6.2 Urutan dapat juga bergerak dari formasi konflik menuju ke konflik dengan kekerasan kembali pada penciptaan konflik yang baru.
      Penyelesaian model skematik daur hidup konflik diselesaikan dengan memunculkan kekerasan tetapi dapat juga dengan tanpa kekerasan.
      Fokus ini terarah ke konflik internal. Konflik asimetris merupakan  sesuatu yang dominan saat ini. Bertarung dengan pusat kekuasan dengan menggunakan kekuatan yang terorganisasi langsung untuk melawan kekuatan musuh guna mematahkan kelangsungan kehendak mereka. Pendekatan ini menyatakan bahwa usaha-usaha untuk menyelesaikan konflik hendaknya dimulai sebelum konflik pecah. Usaha-usaha ini tetap relevan dengan fase pasca penyelesaian, ketika perdamaian harus tertuju pada masalah-masalah berkelanjutan dalam konflik

7 Mentransformasikan Konflik yang Tidak Simetris    
      
      Asimetris yang inheren dalam situasi kekuasaan yang tidak seimbang dan kebutuhan yang tidak terpenuhi berkurang dengan meningkatnya kesadaran, mobilisasi, dan pemberdayaan, yang akhirnya membawa pada konfrontasi terbuka di mana hal ini diperlukan sebelum berpindah pada negosiasi sebuah hubungan baru dan sikap yang diubah. Mobilisasi dan konfrontasi lanjutan dapat mengikuti, atau transformasi kemampuan penyelesaian konflik dapat cukup jauh menjangkau guna mengakomodasi perubahan sosial dan politik di masa depan secara damai dalam sebuah proses pelembagaan yang disepakati. Penyelesaian konflik dengan menggunakan kekuatan untuk bertarung melawan pusat kekuasaan melalui peningkatan kesadaran, mobilisasi, dan pemberdayaan.


8 Aktor dan Pendekatan

      Karena beragamnya sumber konflik dan keadaan yang komplek, maka diperlukan respon pada tingkatan yang berbeda. Perubahan dalam konteks konflik dapat tergantung pada pengaturan dari luar dan dari dalam, mungkin memerlukan perubahan sturktur. Konflik antar pihak-pihak yang bertikai akan tetap memerlukan pemecahan pada tingkat relasional, dan perubahan budaya pada semua tingkat perlu bagi transformasi wacana dan institusi yang mempertahankan dan menghasilkan kembali kekerasan. Tekanan yang lebih besar sekarang ditempatkan pada pengintegrasian tingkat yang lebih berbeda di mana pembentukan perdamaian dan penyelesaian konflik di tempat yang terjadi konflik, dengan penekakan khususnya pada pentingnya proses “dari bawah ke atas”. Penyelesaian masalah dengan memperhatikan tingkat relasi dan perubahan budaya. Penekanannya proses dari bawah ke atas. Konflik diselesaikan di tempat terjadinya konflik.


9 Gradien  Keterlibatan Konflik

      Penciptaan perdamaian, penekanannya bukan pada pihak luar untuk mengatasi konflik dalam satu usaha mediasi, tetapi pada keperluan untuk membangun konstituensi dan kemampuan dari dalam dan belajar dari budaya domestik bagaimana menangani konflik secara berkelanjutan. Model ini mengimplikasikan dukungan terhadap konstituensi perdamaian domestik, mengembangkan institusi domestik dan memperoleh dari mereka yang bertikai pendekatan yang dapat diterima secara sosial dan kultur. Spektum agen yang berkisar dari pihak-pihak yang tidak terlibat, melalui pihak-pihak marjinal yang peduli sampai dengan pihak-pihak yang peduli secara aktif berpengaruh. Semakin jauh sebuah pihak ditempatkan dari pusat konflik, semakin rendahlah kepentingan dan komitmen (lihat gambar 10). Pihak-pihak yang dilekatkan, untuk mengatakan bahwa, individual atau kelompok dapat muncul dari dalam situasi (dari pihak-pihak inti) dan ingin memainkan peranan sebagai pihak yang peduli dalam memfasilitasi atau melakukan usaha menuju tercapainya penyelesaian konflik. Di masa depan bidang resolusi konflik dapat menjadi suatu usaha kerja sama lintas budaya sebagaimana diharapkan oleh para pendirinya. Pendekatan yang digunakan berasal dari dalam dan belajar dari budaya sendiri, agar pedekatan dapat diterima secara sosial dan kultur.

10 Penyelesaian Konflik Multi Jalur

      Implikasi perluasan ruang lingkup dan aplikasi pendekatan penyelesaian konflik melihat perlunya rentang pelengkap intervensi pihak ketiga. Jalur-jalur ini sebaiknya terdiri dari banyak jalur dan bukannya hanya jalur I dan jalur II, yang tertuju pada elit dan kelompok masyarakat lapisan bawah, beroperasi pada tingkat struktural-konstitusional disamping juga pada tingkat relasional-komunitas, dengan kerja sama antara badan-badan internasional dan internal yang terlibat dan sebuah komitmen berkelanjutan untuk konflik yang sejauh ini dipertanyakan. Meningkatnya penekanan pada pentingnya sumber-sumber asli dan aktor-aktor lokal menunjukkan perlunya penambahan terhadap apa yang dapat diartikan sebagai penciptaan perdamaian jalur III.
                          Jalur I: Negosiasi, menjaga perdamaian, arbitrasi, dukungan perdamaian,
mediasi dengan otot (kekuatan). Dominasi kekuasaa yang dipertukarkan dan kekuasaan untuk mengancam.
.                      . Jalur II: Jasa yang baik, konsiliasi, mediasi murni, penyelesaian masalah.
Dominasi kekuasaan integratif dan kekuasaan yang dipertukarkan.
.                      . Jalur III: Konstituensi damai di dalamkonflik, membangun kohesi sosial,
landasan yang sama. Dominasi kekuasaan integratif dan kekuasaan yang dipertukarkan.

      Konflik dapat berbeda dalam hal kompleksitas dan kepentingannya, strategi untuk menanganinya, dan solusi yang akan dihasilkannya. Konflik pada tingkat antarapribadi, antarkelompok, antarkomunitas, maupun internasional, jelas tidak sama.
     Alternatif untuk memcahkan konflik yang satu dengan konflik yang lain, dapat berbeda. Sebab alternatif yang digunakan untuk memecahkan konflik A belum tentu dapat digunakan untuk memcahkan konflik B. Alternatif mana yang akan digunakan untuk memecahkan konflik, ditentukan oleh konflik mana yang akan dipecahkan. Itu berarti jika akan memecahkan konflik, perlu jeli melihat konflik yang akan dipecahkan dan alternatif yang akan digunakan. Untuk memecahkan konflik diperlukan teori, tetapi teori yang satu tidak dapat digunakan pada semua konflik. Bahkan teori yang sudah ada pun, belum tentu dapat digunakan untuk memecahkan konflik yang akan dipecahkan. Untuk memecahkan konflik tersebut, mungkin perlu dicarikan model pemecahan konflik yang lain atau membutuhkan teori yang baru. Dapat terjadi, berbeda konfliknya, berbeda juga alternatif yang akan digunakan untuk memecahkannya. Konflik yang muncul di setiap tempat tidak sama. Itu berarti cara menyelesaikan konflik di tempat A dapat berbeda dengan cara mneyelesaikan konflik di tempat B.

Rabu, 29 September 2010

KONFLIK

 Oleh: J.K.Iroth

1. Definisi Konflik


     Menurut Hugh Maill, Oliver Ramsbotham dan Tom Woodhouse: ”konflik adalah pengejaran tujuan yang saling bertentangan dari kelompok yang berbeda.” Di sini seakan-akan kalau ada pengejaran tujuan yang saling bertentangan baru di sebut konflik. Kalau tidak terjadi pengejaran tujuan, walaupun saling bertentangan, itu bukan konflik. Menurut Webster, yang dikutib oleh Dean G. Pruitt dan Jeffrey Z. Rubin: istilah “conflict” awalnya berarti suatu “perkelahian, peperangan, atau perjuangan” – yaitu berupa konfrontasi fisik antara beberapa pihak. Tetapi kemudian berkembang dengan masuknya “ketidaksepakatan yang tajam atau oposisi atas berbagai kepentingan, ide, dan lain-lain”. Istilah tersebut sekarang menyentuh aspek psikologi di balik konfrontasi fisik yang terjadi, selain konfrontasi fisik itu sendiri. Karena itu menurut Dean dan Jeffrey: Konflik berarti perbedaan persepsi mengenai kepentingan (perceived divergence of interest). Di sini hanya menyebutkan perbedaan presepsi mengenai kepentingan, itulah yang disebut konflik. Tidak menyebutkan perbedaan presepsi mengenai tujuan.
Kalau Hugh Maill, Oliver Ramsbotham dan Tom Woodhouse konflik adalah tujuannya yang berbeda, sedangkan Dean dan Jeffrey, konflik adalah kepentingannya yang berbeda. Orang dapat berbeda presepsi mengenai kepentingan, tetapi orang dapat juga berbeda presepsi mencapai tujuan. Untuk sebuah aktivitas, tujuan yang mau dicapai sama, tetapi kepentingan seseorang atau kelompok untuk mencapai tujuan tersebut bisa berbedaan. Demikian juga dengan aktivitas yang sama, tujuan yang mau dicapai, dapat berbeda. Perbedaan tujuan dan kepentingan itu dapat menimbukkan konflik. Sebab itu lebih tepat ”konflik” adalah perbedaan persepsi tentang kepentingan dan/atau tujuan.
2. Gejala Konflik
     Soejitno Irmim dan Abdul Rochhim mengatakan: “Konflik mengatasi ruang dan waktu, di mana ada kehidupan di situ ada konflik. Konflik akan berhenti ketika kehidupan ini juga berhenti, karena salah satu pertanda kehidupan ini adalah konflik. Keliru sekali jika kita berharap pindah ke tempat lain untuk menghindari konflik, karena di tempat baru itu konflik sudah menunggu.” Hal yang sama dikatakan oleh Prof. Dr.W.I.M. Poli. Poli mengatakan bahwa konflik adalah gejala yang wajar di dalam hidup, terjadi pada berbagai tingkat: di dalam diri orang; antar diri; antar kelompok, horizontal dan vertikal. Sebagai gejala yang wajar, Poli mengatakan bahwa konflik dapat diantisipasi munculnya, dan pemecahannya dapat diancang-ancang melalui manajeman konflik, yang direncanakan secara sadar dan dini. Menurut Dale D McConkey, bahwa “konflik dapat berkembang di antara para profesional seperti dokter, perawat, pendeta, pendidik, pekerja sosial, dan sukarelawan.”
     Dari tiga pendapat di atas, mengungkapkan hal yang sama. Tidak ada tempat yang tidak ada konflik. Konflik dapat berkembang di mana saja. Konflik adalah gejala yang wajar. Konflik adalah salah satu pertanda kehidupan. Konflik dapat diantisipasi munculnya, dan pemecahannya dapat diancang-ancang melalui manajeman konflik, yang direncanakan secara sadar dan dini.


3 Sumber Konflik
      Menurut John Westerman dan Pauline Donoghue: ”Tantangan yang jelas bagi manajemen sumberdaya manusia terletak pada sifat yang unik dari sumber yang digunakan. Manusia, tidak seperti sumber-sumber lain yang manapun, memberikan reaksi terhadap lingkungan mereka dengan cara yang paling sensitif – dan tidak selalu dengan cara yang dikehendaki.”  Hal itu menurut Irmim dan Rochim, disebabkan: ”Tuhan menciptakan manusia dalam kategori yang berbeda. Ada yang kaya, ada yang miskin lagi papa. Ada yang pinter, tetapi ada pula yang bodoh sebodoh-bodohnya. Harus diakui bahwa di satu sisi perbedaan itu merupakan rahmat, tetapi kenyataan yang ada membuktikan bahwa tak sedikit juga peristiwa tragis yang diawali oleh suatu perbedaan.” Senada dengan Irmim dan Rochim, Poli mengatakan bahwa ”Konflik bersumber pada perbedaan, seperti: pendidikan, pengalaman, kepentingan, kebiasaan, dan nilai.” Semua itu mempengaruhi kepribadian seseorang. Karena itu Trump dan Johnson, mengatakan ”banyak konflik antar pribadi justru terjadi karena ciri kepribadian antar setiap orang memang berbeda. Tetapi jika orang-orang menghayati adanya perbedaan tersebut dan menyadari akan kelebihan dan kekurangannya masing-masing, perbedaan itu justru dapat digunakan sebagai suatu sumber kekuatan yang bisa mendukung terjadinya kemajuan dan pembaruan-pembaruan.” Pruitt dan Rubin, mengatakan ”konflik terjadi ketika tidak terlihat adanya alternatif yang dapat memuaskan aspirasi kedua belah pihak. Ketika konflik semacam itu terjadi, maka ia akan semakin mendalam bila aspirasi sendiri atau aspirasi pihak lain bersifat kaku dan menetap.”
       Menurut T Hani Handoko Konflik biasanya timbul dalam organisasi sebagai hasil adanya masalah-masalah:
3.1 Komunikasi : salah pengertian yang berkenaan dengan kalimat, bahasa yang sulit
dimengerti, atau informasi yang mendua dan tidak lengkap, serta gaya individu manajer yang tidak konsisten.
3.2 Struktur : pertarungan kekuasaan antar departemen dengan kepentingan-kepentingan atau
sistem penilaian yang bertentangan dengan kepentingan-kepentingan atau sistem penilaian yang bertentangan, persaingan untuk memperebutkan sumber daya - sumber daya yang terbatas, atau saling ketergantungan dua atau lebih kelompok-kelompok kegiatan kerja untuk mencapai tujuan mereka.
3.3 Pribadi : ketidak sesuaian tujuan atau nilai-nilai sosial pribadi karyawan dengan perilaku
yang diperankan pada jabatan mereka, dan perbedaan dalam nilai-nilai atau persepsi. Karakteristik-karakteristik kepribadian tertentu, seperti otoriter atau dogmatis juga dapat menimbulkan konflik.
     Jadi sumber konflik adalah ciri kepribadian manusia yang berbeda. Sebab manusia yang diciptakan Tuhan berbeda, memberikan reaksi yang berbeda pada komunikasi, struktur, pribadi dan karakteristi-karakteristik kepribadian tertentu. Tetapi jika orang-orang menghayati adanya perbedaan tersebut dan menyadari akan kelebihan dan kekurangannya masing-masing, maka perbedaan itu merupakan rahmat yang dapat digunakan sebagai sumber kekuatan untuk mendukung kemajuan dan pembaruan. Tetapi perbedaan menjadi suber konflik ketika tidak terlihat adanya alternatif yang dapat memuaskan aspirasi kedua belah pihak. Jadi sumber konflik adalah perbedaan.

4 Tahap Konflik

     Menurut Poli, Konflik muncul melalui beberapa tahap. Mulanya ada rasa frustasi, yang diikuti tahap konseptualisasi. Pada tahap konseptualisasi, yang berlangsung di dalam pikiran, orang berpikir dan menjawab sendiri pertanyaan-pertanyaan seperti berikut:

4.1 apa penyebab rasa frustasi ini;
4.2 siapa penyebabnya;
4.3 bagaimana perkembangannya;
4.4 apa yang dapat saya buat, dan apa akibatnya;
4.5 apakah perlu saya menggalang kekuatan untuk melawan penyebab dan pihak yang
menyebabkan frustrasi ini;

      Jika tahap konseptualisasi sudah matang, sesuatu pemicu eksternal yang kecil dapat menyebabkan ledakan konflik dengan segala akibatnya. Jika konflik sudah meledak, ada kemungkinan orang segera mencari pemicunya dan bukan mencari dan menemukan akarnya yang dalam dan tersembunyi.

      Pruit dan Rubin, menggambarkan tiga tahapan proses perjalanan konflik. Tahap pertama, usaha-usaha yang dilakukan untuk mempengaruhi pihak lain dengan menggunakan taktik contentious menyebabkan terjadinya eskalasi konflik, di mana masing-masing pihak meningkatkan intentitas taktiknya guna mengalahkan pihak lain. Bila tidak ada yang keluar sebagai pemenang, maka kemungkinan akan terjadi tahap kedua, yaitu kemandekan. Keadaan ini pada akhirnya akan membawa ke tahap final penyelesaian konflik, yang ditandai oleh problem solving, yang seringkali disertai adanya bantuan pihak ketiga.
      Pruit dan Rubin sama dengan Poli melihat konflik muncul melalui proses. Kalau Pruit dan Rubin melihat proses konflik mulai dari usaha mempengaruhi pihak lain. Sedangkan Poli melihat proses konflik mulai dari bertanya apa penyebab konflik. Tahap konflik, lebih cocok dengan cara Poli melihat konflik prosesnya mulai dari bertanya apa penyebab konflik.

5 Strategi (pendekatan) Menyelesaikan Konflik


5.1 Strategi konflik menurut Pruitt dan Rubin
a.       Strategi Contending (bertanding) yaitu mencoba menerapkan solusi yang lebih disukai oleh salah satu pihak atas pihak yang lain.
b.      Strategi Yielding (mengalah) – yaitu menurunkan aspirasi sendiri dan bersedia menerima kurang dari yang sebetulnya diinginkan.
c.       Strategi Inaction (diam) – tidak melakukan apapun.
d.      Strategi Withdrawing (menarik diri) – yaitu memilih meninggalkan situasi konflik, baik secara fisik maupun psikologis.
e.       Problem Solving (pemecahan masalah) – yaitu mencari alternatif yang memuaskan aspirasi kedua belah pihak.

5.2 Strategi konflik menurut Maill, Ramsbotham dan Woodhouse
     Suatu kebiasaan khas dalam konflik adalah memberikan prioritas yang tinggi guna mempertahankan kepentingannya sendiri. Para pemimpin diharapkan mempertahankan kepentingan umum dan mengalahkan kepentingan pihak lain jika mereka terpaksa masuk ke dalam konflik. Tetapi ini bukanlah satu-satunya respon yang mungkin terjadi. Pendekatan (strategi) terhadap konflik dibedakan oleh apakah perhatian bagi diri sendiri atau perhatian bagi orang lain adalah tinggi atau rendah:
a.       Pertikaian - mempunyi kepedulian yang tinggi terhadap kepentingan sendiri dan kepedulian rendah terhadap kepentingan pihak lain.
b.      Mengalah - ini mengimplikasikan perhatian yang lebih terhadap kepentingan pihak lain ketimbang kepentingan diri sendiri.
c.       Menghindari konflik dan mengundurkan diri – ini menunjukkan kepedulian yang rendah bagi diri sendiri dan bagi pihak lain.
d.      Menyeimbangkan perhatian pada diri sendiri dengan pihak lain - mencari kompromi dan mencoba mengakomodasi kepentingan kedua belah pihak.
e.       Penyelesaian masalah yang kreatif - Memungkinkan penghargaan yang tinggi bagi kepentingan diri sendiri dan kepentingan pihak lain. Ini mengimplikasikan penegasan yang kuat terhadap kepentingan sendiri, tetapi juga menyadari aspirasi kebutuhan pihak lain, berusaha untuk mencari hasil penyelesaian masalah yang kreatif.
      Dalam strategi Pruitt dan Rubin, poin 3 yaitu : “Strategi inaction (diam) – tidak melakukan apapun” dan poin 4 yaitu: “Strategi With drawing (menarik diri) –memilih meninggalkan situasi konflik, baik secara fisik maupun psikologis”. Poin 3 dan 4 tersebut, dapat menjadi satu dalam poin 3 dari strategi Maill, Ramsbotham dan Woodhouse, yaitu : “Menghindari konflik dan mengundurkan diri”.
      Dalam strategi Maill, Ramsbotham dan Woodhouse, poin 4, yaitu : “Menyeimbangkan perhatian pada diri sendiri dengan pihak lain”, dan point 5, yaitu : “Penyelesaian masalah yang kreatif”, dapat menjadi satu dalam poin 5 dari strategi Pruitt dan Rubin, yaitu : “Problem Solving (pemecahan masalah) – yaitu mencari alternatif yang memuaskan aspirasi kedua belah pihak.”
      Dalam menyelesaikan konflik, seharusnya kepentingan keduabelah pihak diperhatikan. Tidak boleh dalam menyelesaikan konflik, hanya memperhatikan kepentingan salah satu pihak, sementara  kepentingan pihak yang lain diabaikan. Pola penangan konflik sebaiknya berusaha untuk mencari hasil penyelesaian masalah yang memuaskan aspirasi kedua belah pihak. Karena itu dalam menyelesaikan konflik , perlu memberikan penghargaan yang tinggi bagi kepentingan kedua belah pihak.

Selasa, 28 September 2010

BAPTIS SELAM DAN BAPTIS PERCIK

Oleh: J.K.Iroth.
Sejak gereja mula-mula, baptis sudah dilaksanakan kepada anggotanya. Tetapi masalah yang sering merupakan pergumulan yang hangat adalah bagaimana cara melaksanakan baptisan tersebut. Sebab ada gereja yang membaptis dengan cara selam, ada gereja yang membaptis dengan cara percik. Di bawah ini akan dibahas sedikit tentang baptis selam dan baptis  percik.
1.       Baptis Selam. 
Menurut E.C.Smith, penyelaman seseorang ke dalam air untuk melambangkan kematiannya terhadap dosa dan kebangunan di dalam memasuki hidup baru dalam Kristus (bnd. Roma 6:4; Kisah 8:38-39). Penyelaman seseorang yang percaya akan Kristus melambangkan keselamatan dan karena itu merupakan metoda pembaptisan yang patut bagi gereja Perjanjian Baru.
Untuk memahami baptis selam, perlu menelaah penggunaan kata baptisan dalam Alkitab, yang diambil dari bahasa Yunan: ‘batizein’. Secara etimologi, kata ‘baptizein’ berasal dari kata-kata bentuk ‘bapto’ dan ‘baptizo, (C. Christano). Yang menggunakan kata ‘bapto’ di dalam Perjanjian Baru: Lukas 16:24; Yohanes 13:26, artinya mencelupkan. Yang menggunakan kata ‘baptizo’ misalnya: Markus 7:4, artinya membasuh atau mencuci (van Niftrik, Boland). Kata ‘bapto’ dalam Lukas 16:24 digunakan ketika orang kaya minta Lazarus untuk mencelupkan tangannya ke dalam air dan menyejukkan lidahnya (B.J.Boland). Kata ‘bapto’ di dalam Yohanes 13:26, digunakan ketika Yesus mencelupkan roti, ketika Yohanes bertanya kepada Yesus tentang siapa yang akan menghianati-Nya (J.Verkuyl). Kata ‘baptizo’ dalam Markus 7:4 digunakan untuk membersihkan diri ketika pulang dari pasar. Kata baptizo di sini digunakan untuk meniadakan kotoran secara upacara keagamaan, yaitu pembasuhan (Tafsir Alkitab masa kini Matius Wahyu). Di sini mereka hanya membasuh, jadi bukan menyelam. Hal yang sama dalam Lukas 11:38, orang-orang Farisi heran, karena Yesus tidak membaptis tangan sebelum makan. Membaptis di sini bukan berarti menyelamkan tangan, melainkan hanya membasuh tangan. Demikian juga untuk menjadi pengikut Musa, mereka semua dibaptis dalam awan dan Laut (I Korintus 10:1-2). Tetapi mereka tidak ditenggelamkan, melainkan mungkin hanya percikan air. Kata baptis juga ditemukan dalam Ibrani 9:10-13, tentang pelbagai baptisan. Dari ayat-ayat tersebut, kata baptis tidak dapat diterjemahkan sebagai menyelam (Robert G. Rayburn).    
Di dalam Alkitab tidak ditemukan ayat dapat dijadikan pegangan, bahwa baptis itu dilaksanakan dengan cara diselamkan sebagai metode pembaptisan yang sah di dalam gereja Perjanjian Baru.
2.       Baptis Percik.
Kalau bangsa Israel melakukan sesuatu yang menyebabkan berdosa dihadapan Tuhan, maka imam memercikkannya dengan darah lembu sebanyak tujuh kali percikkan untuk menghapus dosanya (Imamat 4:1-6; 16:15; bnd. Keluaran 29:40; Imamat 1:3,5,8,9; 12;15); Seekor lembu betina merah disembeleh, kemudian imam memercikkan darah korban itu di depan Kemah Pertemuan sebanyak tujuh kali (Bilangan 19 bnd. Ibrani 9:13). Lembuh dibakar, abunya disimpan di luar perkemahan di tempat yang tahir dan merupakan penghapusan dosa (Robert G. Rayburn). Dalam Bilangan 8:5-13, khususnya ayat 7 ditemukan bahwa petunjuk dari Tuhan kepada Musa berkenaan dengan pengkhususan orang Lewi: “Beginilah harus kaulakukan kepada mereka untuk mentahirkan mereka: perciklah kepada mereka air penghapus dosa.” Baptis cara percik itu merupakan perintah dari Tuhan (Charles Christano).
Alkitab memberi kesaksian, bahwa baptisan dilaksanakan dengan cara percik. Bagi mereka yang berdosa, untuk pengahapusan dosa dipercik dengan darah atau dengan air.

BAPTIS ANAK


Oleh: J.K.Iroth.
Untuk memahami dasar yang dipakai oleh gereja yang mempraktekan baptis anak, kita perlu mengetahui rahasia rohani yang digambarkan oleh upacara yang diperintahkan oleh Tuhan itu (Yohanes Calvin). Dalam Kolose 2:11,12, menjelaskan bahwa sunat dalam Perjanjian Lama diganti oleh baptis (Charles Christiano). Untuk itu perlu menyelidiki perbedaan dan persamaan yang terdapat pada kedua tanda tersebut. Yang sama pada kedua tanda tersebut adalah janji Anugrah, bahwa Allah menjadi Bapa kita, pengampunan dosa dan hidup yang kekal. Hal yang digambarkan juga sama, yaitu kelahiran kembali. Oleh sebab itu, tidak ada perbedaan dalam rahasia batiniah yang harus menjadi titik tolak dalam setiap penilaian mengenai kekuatan dan sikap khas sakramen-sakramen. Yang tidak sama adalah upacara lahiriah. Jadi apa yang terjadi dalam sunat, berlaku juga dalam baptisan, kecuali uapacara lahiriahnya (calvin).
Demikian juga kalau kita menghayati keutuhan keluarga sebagai satu organism, maka dalam Alkitab, keselamatan dan janji Anugrah Allah berlaku bagi “Kamu dan anak-anakmu” (Kisah 2:39). Berita ini akan mendatangkan keselamatan bagimu dan bagi seluruh isi rumahmu (Kisah 11:14 bnd. Yesaya 59:21; Keluaran 20:5-6). Bahkan berkat iman satu orang, yaitu Abraham; “Semua kaum di muka bumi mendapat berkat”. Kita melihat begitu besar dan luasnya kekuasaan satu orang yang percaya! (Volkhard Scheunemann). Di dalam Ezra 9:2 disebutkan bahwa anak-anak orang Yahudi “Benih yang kudus”. Sebab mereka telah dijadikan ahli waris Perjanjian. Dengan demikian mereka dibedakan dari anak-anak orang kafir. Maka dengan alasan yang sama anak-anak orang Kristen dianggap kudus, walaupun hanya seorang dari orang tua mereka yang merupakan orang yang percaya (I Korintus 7:14). Jika Tuhan setelah mengadakan perjanjian dengan Abraham, kemudian menyuruh memetraikan di dalam anak-anak kecil di dalam sakramen lahiria (Kejadian 17:12), maka sekarang seharusnya orang Kristen memetraikan anak-anaknya dengan baptis (Charles Christiano). Atas dasar perjanjian baptisan yaitu tanda perjanjian itu, mereka juga harus dimasukkan ke dalam gereja Kristen, dan dibedakan dari anak orang yang tidak percaya (Katekismus Heidelberg). Baptis anak, mengakui status anak dalam rumah tangga Kristen. Mereka adalah anak-anak orang tua Kristen. Mereka dimetraikan dengan baptisan sebagagai pewaris janji-janji Allah. Dimetraikan dengan baptisa sebagai anggota tubuh Kristus. Menjadi anak-anak Allah.
Baptis memberi status sebagai anggota dalam gereja. Sebagaimana mereka diakui sebagai anggota di dalam rumah tangga. Akan tetapi keanggotaannya semata-mata karena keanggotaan orang tua. Keanggotaan mereka bersifat tidak langsung, menanti saatnya dengan menyambut “Keselamatan oleh iman kepada Kristus Yesus” (II Timotius 3:15), mereka beralih pada keanggotaan yang langsung. Alkitab tidak mengenal “cucu Allah” melainkan “anak-anak Allah (Yohanes 1:12-13), yang berarti bahwa anak-anak orang tua Kristen harus “dituntun” (II Timotius 3:15) dari iman tidak langsung (karena melalui dan masih bergantung pada orang tua) ke pada iman yang langsung kepada Allah Bapa, Anak (Juru selamat Yesus Kristus) dan Roh Kudus). Iman mereka yang tadinya disusui orang tuanya, harus dilepas supaya mereka dapat berdoa dan makan Firman Tuhan sendiri dan menghayati persekutuan yang langsung dengan-Nya (I Korintus 1:9; Efesus 3:16-17; 1 Yohanes 1:3-7). Bandingkan juga dengan amanat Yosua : “Tetapi aku dan seisi rumahku, kami akan beribadah kepada Tuhan!” (Yosua 24:16) (V. Scheunemann). Sebab itu menurut J. Verkuil: “Baptis anak merupakan panggilan melalui orang tua untuk bergumul dengan Allah dalam iman.” Dalam baptisan anak, menurut K. Riedel, juga mengingatkan kepada jemaat, bahwa jemaat ikut bertanggung jawab atas baptisan pada anak itu supaya anak itu terpelihara dengan pengajaran yang sopan dan nasehat Tuhan (Efesus 6:4). “Karena itu dalam satu Roh kita sudah dibaptiskan menjadi satu tubuh” (I Korintus 12:13).  
Charles Christiano mengatakan, Meskipun di dalam baptis anak, iman bukan menjadi dasar pokok baptisan, akan tetapi soal iman juga diperhitungkan. Melalui baptisan itu, jalan iman terbuka lebar bagi anak-anak orang beriman. Karena dengan baptisannya, hidup anak ini harus ditandai dengan  baptisan bukan imannya sendiri melainkan iman orang tuanya. Melalui iman orang tuanya, anak itu dihubungkan dengan perjanjian Allah dan dengan perjanjian-Nya. Anak itu ditanamkan di dalam Kristus, karena orang tuanya ditanamkan di dalam Kristus (Roma 11:16).
Sebagai imam-imam Perjanjian Baru (I Petrus 2:9), maka orang tua terpanggil untuk mewakili dan mendoakan seisi rumah tangga dan tiap anak di hadapan Allah. Doa itu merupakan iman syafaat (doa yang menggantikan/mewakili). Bandingkan dengan doa Abraham untuk Sodom dan Gomora (Keadian 18:23-33); Doa Musa untuk Israel, waktu Musa menyatakan kesediaannya untuk namanya dihapuskan dari kitab Alhayat ganti umat yang murtat (Kejadian 32:31-34; Bilangan 13:20); Yesus mendoakan Petrus, agar jangan gugur dalam penampilan/pengujian iman (Lukas 33:31-32), bahkan Yesus mendoakan untuk pembunuhnya-Nya: “Karena mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat” Lukas 23:34; Kisah 7:60). Doa Paulus untuk jemaat pada siang dan malam (Filipi 1:2-11). Keslamatan di sini merupakan hasil tindakan dan doa yang menggantikan (hasil tindakan syafaat dan doa syafaat). Dalam kehidupan sehari-hari orang tua banyak menggantikan anak, mengatur waktu tidur dan bangun tidur, mengatur sandang dan pangan, pergaulan anak-anak. Demikian juga dalam hal keselamatan anak tidak dibiarkan sendiri, melainkan orang tua bertindak menggantikan anak. Iman syafaat yang menggantikan anak; iman orang tua, ibu/bapa serani dan iman jemaat, pada saat anak dibaptis maksudnya menuju pada iman anak itu sendiri.
Pengakuan orang tua melandasi dan mendahului pengakuan anak. Pengakuan anak pada baptisannya, baru mencapai tujuannya setelah meningkat/mencapai dewasa. Dengan demikian maka baptisan anak merupakan suatu proses. Juga baptis anak member status sebagai anggota jemaat kepada anak, akan tetapi kewajiban tergantung pada orang tua (V. Scheunemann). Baptis anak juga merupakan panggilan kepada anak itu sendiri, agar sesudah anak itu dewasa, supaya menyerahkan diri dengan iman yang sejati dan dengan kasih yang besar kepada Tuhan yang menyaksikan waktu anak itu dibaptis (J. Verkuil). Kemudian sesudah anak itu dewasa, baptisan merupakan dorongan besar untuk sungguh-sungguh berusaha memuja Allah, yang sudah menerima anak itu sebagai anak_nya melalui pengangkatan yang resmi, sebelum sanggup karena masih mudah) mengakui Dia sebagai Bapa mereka (Y. Calvin). Baptis anak itu juga memanggil anak ke dalam jemaat, di mana Roh Kudus bekerja dan diterima melalui pemberitaan Firman, dan di mana kelahiran baru terjadi. Sehingga baptis anak membuka jalan untuk kelahiran baru, yang terjadi pada waktu itu masuk iman dan percaya sendiri, dari pengakuan orang tua kepada pengakuan anak dankepada kesadaran anak akan dosanya. Sebab tanpa berseru sendiri (Roma 10:13) dan memanggi (Kisah 22:16) nama Tuhan dan tanpa pengakuan akan Dia sebagai Tuhan dan Juruselamat (bnd. Yohanes 20:28, pengakuan Thomas), maka baptis anak belum sampai pada tujuan dan dengan demikian belum lengkap. Baptis anak tidak mencetak orang Kristen, atau baptis anak tidak menjadikan calon Kristen. Jadi baptis anak dapat disifatkan sebagai baptisan panggilan (V. Scheunemann). Oleh sebab itu setelah dewasa selalu menjadi pertanyaan: sungguhkah kita sudah menjawab janji Allah dan taat kepada-Nya? Juga di samping itu ada penghiburan, bahwa Tuhan sudah menumpangkan tangan kepada mereka yang sudah dibaptis, sambil berkata: “Engkaulah milik-Ku” (Yesaya 43:1) (J.L.Ch.Abineno).
sunat dalam Perjanjian Lama diganti oleh baptis. Yang sama pada kedua tanda tersebut adalah janji Anugrah, bahwa Allah menjadi Bapa kita, pengampunan dosa dan hidup yang kekal. Yang tidak sama adalah upacara lahiriah.
Anak-anak orang Yahudi “Benih yang kudus”. Mereka telah dijadikan ahli waris Perjanjian. Mereka dibedakan dari anak-anak orang tidak percaya. Maka dengan alasan yang sama anak-anak orang Kristen dianggap kudus. Jika Tuhan setelah mengadakan perjanjian dengan Abraham, kemudian menyuruh memetraikan di dalam anak-anak kecil di dalam sakramen lahiria, maka sekarang seharusnya orang Kristen memetraikan anak-anaknya dengan baptis. Atas dasar perjanjian baptisan yaitu tanda perjanjian itu, mereka juga harus dimasukkan ke dalam gereja Kristen sebagai anggota tubuh Kristus, dan dibedakan dari anak orang yang tidak percaya (Katekismus Heidelberg). Baptis adalah metrai menjadi milik Allah; pewaris janji Allah; mengakui status anggota rumah tangga Kristen; Mereka dimetraikan dengan baptisan sebagagai pewaris janji-janji Allah. Dimetraikan dengan baptisan sebagai anggota tubuh Kristus. Menjadi anak-anak Allah.